Title : Mein Liebe –part 3-
Author : Nobi Ururi
Bands : The GazettE
Genre : Romance/Angst
Rating : Pg-13
Disclaimer : Dibawah ini adalah milik saiia bukan orang lain.
Music : Mirrorcle World – Ayumi Hamasaki
Hana – Orange Range
Silent To My Pain – Lin –the end of corruption world-
Pledge – the GazettE
A/N :
===200494===
Ruki menyenderkan kepalanya pada sofa, matany tak focus untuk memperhatikan apa yang sedang ditayangkan oleh tivi plasma yang ada didepannya. Tubuhnya terlalu lemah untuk hanya sekedar menggerakan tangannya. Matanya yang dulu selalu bersinar kini redup dengan segala kesedihan yang ada dibaliknya.
Seharusnya ada yang menjaga Ruki sekarang. Tapi, siapa? Reita? Itu tak mungkin, Reita tak akan mungkin datang ke apartemennya, sekedar menelfon saja dia tidak. Ruki tak bisa mengharapkan Reita.
Tiba-tiba matanya melebar ketika ia merasakan sesuatu cairan yang akan keluar dari perutnya. Ia menutup mulutnya dan segera berlari kearah kamar mandi.
“Hueekkkk….!!!!” Suara muntahan kembali bergema di seluruh apartemen itu.
“Hueekk…!!!” ah, betapa Ruki terlihat mengenaskan sekarang.
“Hhh.. hhh… “ deru nafas Ruki kini tak beraturan. Ia mencuci mukanya mencoba menghilngkan rasa lelah yang tergambar jelas diwajahnya.
Dan kini pandangannya tertuju pada cermin yang ada di depannya. Guratan kelelahan, sedih, dan rasa kecewa tergambar jelas di depannya. Inikah dirinya? Oh, Tuhan kuatkankanlah ia dengan segala penderitaan yang sedang dialaminya. Dan setitik air mata jatuh dari mata indahnya.
Apa yang dilakukan mantan kekasih mungilnya dari rumah sakit kini memenuhi mikiran Reita. Setahunya Ruki tidak punya penyakit yang berat dan Ruki adalah termasuk anak yang jarang sakit. Ini aneh, pikirnya.
Dahi Reita berkerut, kenapa ia memikirkan Ruki? Reita menggelengkan kepalanya. Mencoba menghapuskan pikiran-pikirannya tentang Ruki.
“Kau kenapa, Rei?” Tanya Uruha yang heran dengan sikap Reita.
“Tidak ada apa-apa,” balasnya pendek. Uru memicingkan matanya, tak yakin. “Percayalah,” senyum Reita bekembang, tangannya mengelus rambut Uru pelan.
Kini Reita dan Uru ada di taman kota yang tidak terlalu jauh dari café yang tadi mereka datangi. Reita dan Uruha duduk disebuah kursi panjang yang ada ditaman itu. Taman itu tidak terlalu ramai karena ini sudah masuk musim gugur –membuat orang malas untuk keluar dari rumahnya terbungkus selimut hangat itu lebih baik. Namun bagi Reita dan Uruha –dua orang yang sedang mencinta itu, udara dingin yang mulai menusuk tak mereka hiraukan.
Reita memeluk tubuh Uruha erat mencoba membagi kehangatannya. Uruha hanya diam menikmati kehangatan yang dibagikan oleh Reita. Menutup matanya sambil menghirup wangi maskulin yang tertangkap oleh indra penciumannya.
“Reita, I love you,” gumam Uruha.
Reita mengernyitkan dahinya. Ini seperti dejavu baginya. Pemuda bernoseband itu lalu menggelengkan kepalanya pelan. Kenapa tiba-tiba saja gambaran sosok lelaki mungil, mantan kekasihnya tersebut tiba-tiba saja terlintas dalam pikirannya? Reita mengigit bibir bawahnya.
Lupakan dia. Ruki hanya lelaki bodoh. Ya, bodoh karena mau saja Reita mainkan perasaannya.
Dan hanya pemuda yang ada didalam dekapannya lah yang harus ia jaga. Harus. Karena pemuda inilah yang membuatnya seperti ini. Mempermaikan banyak perasaan orang. Sampai-sampai Reita tak sadar bahaw ia telah membuat sebuah ‘jejak’ pada seorang pemuda mungil diluar sana.
“I love you… I love you too so much –“
Jam 5.03 p.m
“Ngh…” Ruki menggeliat pelan. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Dengan pelan ia membuka kelopak matanya.
Ah, lagi-lagi ia tertidur di sofa.
Ruki mengusap keringat yang membasahi wajahnya. Dan dengan pelan pula ia mendudukan tubuhnya keatas sofa tersebut. Tangannya ia letakan keatas perutnya dan mengusapnya pelan.
“Jam berapa sekarang?” pemuda mungil itu lalu mengarahkan pandangannya pada jam yang tergantung diatas tivi plasmanya. “Jam 05.06 p.m,” gumamnya.
Ruki lalu berdiri dari sofanya dan berjalan pelan kearah dapur apartemennya. Rasa haus kini menyelimuti kerongkongannya. Dengan tangan gemetar Ruki mengambil gelas dan menuangkan air kedalamnya. Setelah itu dengan langkah pelan pula Ruki berjalan menuju kamar mandi apartemennya.
Pemuda mungil itu menatap nanar pada pantulan dirinya. Ah, betapa dia kini kurus. Dengan lingkar hitam yang mengitari matanya, ia tampak begitu err.. berantakan? Kehamilan ini sungguh membuatnya tersiksa. Secara perlahan ruki mengusap perutnya.
“Hey, kau yang ada didalam sana. Selamat sore,” sapanya. “Ku harap kau tak menyusahkanku,” Ruki menggigit bibirnya, “Kau tau kan? Kita hanya berdua didalam apartement ini,” hening sejenak. “Jadi kumohon mengertilah aku sebagai ibumu,” detik itu pula terdengar suara kekehan.
Ibu?
Ruki menggaruk kepalanya dengan pelan. Ia laki-laki –yah walaupun ia kini sedang hamil, apa tidak aneh jika seorang laki-laki dipanggil ibu? Pemuda mungil itu memiringkan kepalanya. Namun, beberapa saat kemudian kesedihanlah yang tergambar jelas wajahnya.
“Hal bodoh,” gumam Ruki.
Ya, bodoh. Karena ia yakin hidupnya takan lama lagi. Mungkin ia tak akan bisa melihat wajah malaikat kecilnya. Tak akan bisa melihat pertumbuhan bayinya dan juga mungkin ia tak akan bisa mendengar tangisan pertama anaknya yang baru lahir di dunia.
==^^^^^==
“Yeah, I’m back!! I really miss my country…” teriak sesosok pemuda, ia merentangankan tangannya lebar-lebar. Menghirup udara kota Tokyo yang sangat dirindukannya selama 1tahun ia tinggalkan. Pemuda berpercing itu tak menghiraukan tatapan aneh yang ditunjukan oleh orang-orang yang ada disekitarnya.
“Ah, aku lapar,” gumamnya. Ia mengelus perutnya pelan. “Lebaih baik aku mencari makan dulu,” pemuda berpercieng itu lalu menarik kopernya, dengan langkah panjang ia lalu keluar dari bandara.
==^^^^==
Ruki meluruskan kakinya diatas karpet putih berbulu yang ada di ruang tivi. Dihadapannya terdapat banyak makanan sushi, unagi, ramen, mochi, taiyaki dan ocha terhidang dihadapannya. Ia menelan ludahnya tak yakin untuk menelan semua makanan yang terhidang didepannya. Entah kenapa ia tiba-tiba saja ingin makan makanan itu semua.
Pemuda mungil itu mengambil sumpitnya dan sedikit berpikir sebelum ia mengambil semangkok ramen. Dengan pelan Ruki memakan ramen tersebut. Namun setelah beberapa suap ia meletakan kembali ramen tersebut dan mengambil shusi.
Tak berapa lama Ruki berdiri dan berjalan kearah dapurnya untuk mengambil toples acar yang dibelinya beberapa hari yang lalu. Ia lalu kembali duduk dan membuka tutup toples tersebut dan menuangkan beberapa isinya kedalam mangkok ramen. Ia juga menaruh beberapa unagi dalam ramennya dan mengaduk isinya pelan.
Entah kenapa tiba-tiba saja Ruki merasa kalau ia ingin sekali cepat-cepat memakan makanan tersebut. Bola matanya juga tampak berbinar-binar senang melihat makanan tersebut. Dengan sedikit terburu-buru ia lalu melahap ramennya.
“Mmm… Oishi~ “ seru Ruki. Senyum cerah tampak tergambar jelas di wajahnya.
Ting.. Tong..
Ruki menghentikan makannya dan meletakan kembali mangkok ramen yang belum habis tersebut.
Ting.. Tong..
Bunyi suara bel pintu kembali terdengar. Dengan langkah agak tergesa-gesa Ruki segera membuka pintunya.
Kriet…!!!
“A –“ Ruki membulatkan matanya saat diliatnya sesosok pemuda berpercing kini sedang berdiri sambil tersenyum kearahnya.
Bersambung ~~
A/N : ancur banget lah ni fanfic -___-‘’